Konservasi Budaya Melalui Folklore: Reog Ponorogo yang Penuh Unsur Mistis, Sejarah dan Tradisi Unik

Jumat, 6 Oktober 2023 13:04 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Reog Legenda dari Ponorogo
Iklan

Penulis: Nur Aini Insyirotun Nisa, Eka Titi Andaryani, S. Pd., M. Pd.

Konservasi budaya adalah suatu langkah dari bentuk pelestarian, perlindungan, pertahanan, pemeliharaan, dan penjagaan terhadap budaya asli dari pengaruh budaya-budaya luar maupun dalam yang tidak atau kurang sesuai. Hal yang berbau kebudayaan jika sudah berkembang dan sudah menjadi kebiasaan di suatu masyarakat akan sukar diubah. Folklore merupakan produk budaya tradisional yang tentunya kita semua wajib memelihara dan melestarikannya.

Folklor atau budaya rakyat yang berasal dari serapan bahasa Belanda (Folklore) dapat mencakup cerita rakyat, legenda, musik, sejarah lisan, peribahasa, lawakan, takhayul, dongeng, dan kebiasaan yang merupakan tradisi suatu budaya, subkultur, atau kelompok. Folklore juga menjadi sarana penyebaran berbagai budaya.

Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri atas beribu pulau dan berbagai macam kelompok etnis. Dimana masing-masing kelompok mempunyai bahasa, kebudayaan, maupun adat istiadat yang unik dan menarik. Oleh karena itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang multikultural terbesar di dunia. Sebagai negara yang multikultural, Indonesia tentu mempunyai banyak warisan budaya benda dan tak benda, beberapa bahkan sudah diajukan ke United Nations Educational, scientific, and Cultural Organization (UNESCO).

Salah satu bentuk warisan kebudayaan milik negara kita yang mendunia adalah Reog. Buktinya, pertunjukan Reog sudah pernah dipentaskan di benua Eropa, seperti Belanda, Belgia, Perancis, dan Jerman. Selain keempat negara tersebut, Reog juga pernah tampil di negara-negara lain di berbagai belahan dunia dan membuat bangga Indonesia. Semua orang dapat menikmati seni pertunjukan ini dengan datang langsung ke acaranya atau bisa menontonnya melalui TV maupun channel seni Reog yang ada di Youtube.

Reog merupakan kesenian tradisional yang diyakini berasal dari daerah Ponorogo, Jawa Timur. Oleh karena itu, kesenian ini dinamakan Reog Ponorogo. Sebagai salah satu folklore dari Ponorogo, Reog dianggap kaya akan makna filosofis yang terkandung didalamnya. Ada beberapa versi sejarah Reog Ponorogo yang tersebar dan simpang siur di kalangan masyarakat luas yang diberitakan melalui media online maupun media lainnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ainun Fisabilillah, dkk (2022) dalam jurnalnya yang berjudul “Mengenal Sejarah dan Filosofi Seni Pertunjukan Kebudayaan Reog Ponorogo “The Culture of Java” Taruna Adhinanta di Universitas PGRI Madiun” bahwa ada total lima versi yang memberikan pandangan tentang asal usul kesenian Reog Ponorogo yang semuanya masih perlu dikaji kebenarannya lebih lanjut.

Versi pertama menjelaskan pandangan yang didasarkan pada konteks di mana seorang seniman budaya menyajikan pola-pola kehidupan berlatar belakang kehidupan hutan belantara. Hewan liar seperti harimau dan burung merak yang memiliki kepribadian berbeda dijadikan satu kesatuan dalam bentuk kesenian Reog Ponorogo, yaitu sebagai Dadak Merak atau Barongan. Versi kedua berkaitan dengan adat tradisi yang berbasis Animisme dan Dinamisme. Selanjutnya adalah versi sindiran. Lahirnya seni Reog Ponorogo dilatarbelakangi oleh protes dari Ki Ageng Kutu (Suryongalam) terhadap Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V, yang dianggap tidak mampu memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan oleh pihak sang permaisuri. Versi keempat, Reog yang dulu sudah ada kononnya dimanfaatkan untuk menyebarkan agama Islam oleh Adipati Bathoro Katong atas bimbingan Ki Ageng Mirah di Ponorogo.

Versi terakhir merupakan bentuk dongeng atau legenda yang berasal dari babad Kelana Sewandana, pakem asli seni pertunjukan Reog yang hingga saat ini masih dipakai sebagai alur tari seni Reog Ponorogo. Secara singkat, isinya menceritakan tentang tanah Wengker, tempat berdirinya Kerajaan Bantarangin yang dipimpin oleh Prabu Klono Sewandono. Reog muncul dalam iring-iringan 144 ekor kuda kembar, dengan suara gamelan, gendang, dan terompet unik yang menimbulkan perpaduan suara merdu yang mendayu-dayu. Ditambah lagi dengan kehadiran seekor binatang berkepala dua yaitu Singobarong (raja Kerajaan Lodaya) dan burung merak. Ditujukan sebagai maskawin yang diberikan Prabu Klono Sewandono kepada Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri.

Dalam perkembangannya, kesenian Reog dikembangkan dalam satu grup Reog yang terdiri dari warok tua, sejumlah warok muda, pembarong, penari bujang ganong, penari jathilan, dan yang berperan sebagai Prabu Klono Sewandono. Seorang pembarong dalam pentasnya akan memakai Barongan atau yang disebut juga Dadak Merak, salah satu peralatan utama dalam tari Reog dan memiliki berat yang berkisar dari 50-60 kilogram. Ketika kelompok pertunjukan Reog Ponorogo berlatih akan selalu diiringi tabuhan dengan instrumen pengiring tradisional berupa kempul, kentuk, kenong, genggam, ketipung, angklung, dan salompet. Alat musik salompet yang dipakai ini menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfer mistis, unik, dan eksotis pada seni pertunjukan Reog itu sendiri.

Di zaman sekarang, kita pasti menjumpai perubahan-perubahan baru di lingkungan sekitar sebagai dampak globalisasi. Bahkan, kesenian Reogpun tidak luput dari perubahan di sana-sini. Dahulu, anggota Reog semuanya laki-laki dan mempunyai ilmu kanuragan atau kebatinan yang kuat, terutama seorang warok. Sebagai orang yang dekat dengan dunia spiritual, warok akan kehilangan kesaktiannya ketika berhubungan badan dengan wanita. Sehingga, warok-warok zaman dulu dibolehkan untuk mengangkat seorang gemblak. Gemblak adalah anak muda laki-laki berusia 12-15 tahun yang berparas tampan dan terawat yang dirawat untuk menjadi kelangenan bagi seorang warok.

Tradisi ini semakin lama semakin ditinggalkan karena sangat tabu dan aneh, serta dianggap mempraktikkan kebiasaan kaum homoseksual. Banyak warok yang beristri dan mempunyai anak pada zaman sekarang. Perubahan-perubahan itu menjadi bukti adanya pergeseran budaya kuno dengan budaya modern yang dipengaruhi keyakinan, pendapat, pola pikir, dan psikologi yang berbeda. Namun siapa yang tahu, mungkin saja tradisi dan budaya gemblakan itu masih ada sampai sekarang. 

Konservasi budaya dapat direalisasikan dalam dua wujud yaitu wujud menumbuhkan budaya peduli dan peduli budaya. Budaya peduli biasanya disebut ide atau gagasan, inti dari budaya. Sementara itu, peduli budaya adalah aktivitas atau kegiatan-kegiatan yang bertemakan budaya. Contohnya dengan menyelenggarakan festival atau pagelaran Reog Ponorogo modern. Memang belajar menari dan juga belajar mengenai budaya tidak segampang itu. Bahkan untuk sampai ditahap mampu mencintai dan membudayakan dibutuhkan tekad yang kuat.

Sebagai bagian dari Masyarakat yang kaya akan budaya, sudah selayaknya kita turut serta ikut bergotong royong melestarikan budaya yang ada dan tidak boleh melupakan warisan budaya leluhur. Jika memang budaya tersebut merupakan budaya yang baik, kenapa kita sebagai generasi muda tidak meneruskannya. Lain cerita jika budayanya merupakan kebudayan-kebudayaan yang sudah tidak sesuai perkembangan zaman, maka perlu disesuaikan dengan nilai-nilai masyarakat saat ini.

 

“Budaya adalah laku, lakuning diri saka ati”

“Kecintaan kita pada budaya tumbuh secara alami di dalam diri kita sendiri”

“Budaya dan cinta memiliki kasta yang sama yaitu diciptakan, disepakati, dikagumi, dijalani, dan dijaga”

Kutipan yang diambil dari seorang penulis kesayangan saya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Nur Aini Insyirotun Nisa

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler